Deliserdang
(ANTARA News) - Sekretaris Utama Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen
Pol Bambang Abimanyu mengatakan jumlah pecandu narkoba di Indonesia
telah mencapai 3,8 juta jiwa.
"Sekarang narkoba sudah merambah
ke seluruh tingkatan, tidak saja orang dewasa, tapi anak-anak, bahkan
ada beberapa pejabat yang saat ini menjalani rehabilitasi," katanya
saat meresmikan gedung kantor BNN Deliserdang, Jumat.
Menurut dia, sebagai orang tua dituntut waspada dan terus melakukan
komunikasi dengan anak. Bila ternyata sudah menjadi pemakai diimbau
untuk segera melaporkan ke BNN guna mendapatkan rehabilitasi.
"Pecandu narkoba sesungguhnya merupakan korban dan musibah bagi
keluarga yang harusnya ditolong dan menjadi perhatian bersama," katanya.
Menurut dia, ada dua hal yang ditempuh untuk memerangi narkoba yaitu
dengan menindak tegas para pengedar gelap narkoba dan tindakan humanis
terhadap pecandu dengan melakukan pembinaan dan rehabilitasi.
Untuk itu, dia mengajak seluruh elemen masyarakat bergandeng tangan bahu-membahu memerangi Narkoba.
Wakil Bupati Deliserdang Zainuddin Mars mengatakan, pengguna narkoba
bukan hanya dari kelompok ekonomi menengah ke atas, tetapi cenderung
merambah pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Bahkan narkoba telah
menyentuh sebagian pemuda dan pelajar di semua tingkatan usia.
"Keadaan ini tentu sangat memperihatinkan karena dampak negatif yang
paling kita hindari dari kondisi ini tentunya adalah ancaman hilangnya
generasi penerus bangsa. Kita semua tentu harus segera melakukan
langkah nyata guna menghindari ancaman tersebut," katanya.
Peresmian gedung kantor BNN Deli Serdang ditandai dengan
penandatanganan prasasti dan pengguntingan pita. Bersamaan dengan itu
juga dilakukan peresmian secara simbolis gedung kantor BNN Kabupaten.
Sumber: http://www.antaranews.com/berita/313809/pecandu-narkoba-indonesia-38-juta-jiwa
K O P E N H A M
Minggu, 03 Juni 2012
Kamis, 29 Maret 2012
Stigma Negatif Penderita HIV/AIDS harus Dihilangkan
DENPASAR: Stigma negatif
kepada pengidap HIV/AIDS masih kuat di masyarakat. Hal ini makin
menyulitkan proses penyembuhan atau menyelamatkan mereka dari kematian.
Menurut Dr Harianto dari SMF Pusdokkes Mabes Polri, kondisi pengidap HIV/AIDS ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Selain harus melawan penyakit mematikan itu, mereka dan keluarganya harus menanggung sanksi sosial cukup berat seperti dikucilkan.
"Dimana-mana pengidap HIV/AIDS mengalami stigma negatif seperti itu. Ini harus segera diakhiri semua pihak harus mengambil peranan untuk menghapus stigma tersebut," kata Harianto di sela pelatihan training of trainer program pencegahan penanggulangan HIV/AIDS jajaran Polda Bali di Kuta, Selasa (27/3).
Ia mengatakan perlakuan atau diskriminasi terhadap keluarga pengidap HIV/AIDS baik saat meninggal maupun dalam perawatan sangat berlebihan. Seolah-olah penyakit mematikan tersebut bisa ditularkan dengan mudah.
Padahal, virus tersebut tidak bisa ditularkan ke orang lain hanya karena salaman, berciuman pipi, bersenggolan atau aktivitas lainnya. "Paling banyak virus ini menular lewat jarum suntik bergantian maupun hubungan seks tidak aman seperti berganti-ganti pasangan," jelasnya.
Akibat stigma negatif, lanjut dia, tidak hanya melemahkan semangat hidup pengidap HIV/AIDS namun juga keluarganya. Mereka harus menanggung malu apalagi jika kemudian pecandu berat obat terlarang seperti narkoba.
Ia menyatakan jika stigma negatif itu terus berkembang hal itu akan membuat jiwa para pendeita HIV/AIDS. Kondisi ini akan makin menyulitkan upaya untuk membantu mereka mengatasi masalah yang dihadapi. (OL/OL-04)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com
Menurut Dr Harianto dari SMF Pusdokkes Mabes Polri, kondisi pengidap HIV/AIDS ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Selain harus melawan penyakit mematikan itu, mereka dan keluarganya harus menanggung sanksi sosial cukup berat seperti dikucilkan.
"Dimana-mana pengidap HIV/AIDS mengalami stigma negatif seperti itu. Ini harus segera diakhiri semua pihak harus mengambil peranan untuk menghapus stigma tersebut," kata Harianto di sela pelatihan training of trainer program pencegahan penanggulangan HIV/AIDS jajaran Polda Bali di Kuta, Selasa (27/3).
Ia mengatakan perlakuan atau diskriminasi terhadap keluarga pengidap HIV/AIDS baik saat meninggal maupun dalam perawatan sangat berlebihan. Seolah-olah penyakit mematikan tersebut bisa ditularkan dengan mudah.
Padahal, virus tersebut tidak bisa ditularkan ke orang lain hanya karena salaman, berciuman pipi, bersenggolan atau aktivitas lainnya. "Paling banyak virus ini menular lewat jarum suntik bergantian maupun hubungan seks tidak aman seperti berganti-ganti pasangan," jelasnya.
Akibat stigma negatif, lanjut dia, tidak hanya melemahkan semangat hidup pengidap HIV/AIDS namun juga keluarganya. Mereka harus menanggung malu apalagi jika kemudian pecandu berat obat terlarang seperti narkoba.
Ia menyatakan jika stigma negatif itu terus berkembang hal itu akan membuat jiwa para pendeita HIV/AIDS. Kondisi ini akan makin menyulitkan upaya untuk membantu mereka mengatasi masalah yang dihadapi. (OL/OL-04)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com
LBH Perjuangan Tangani Kasus Kekerasan Penangkapan Korban NAPZA
Semarang
Penangkapan empat pengguna NAPZA terkait
kasus kepemilikan ganja oleh Kepolisian Resor (Polres) Semarang yang
diduga tidak sesuai prosedur, saat ini ditangani oleh kelompok advokasi
kebijakan NAPZA, PERFORMA dan didampingi oleh pengacara dari Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Perjuangan.
“Kami akan mendampingi proses penyidikan karena ada dugaan penyiksaan oleh aparat saat proses penangkapan berlangsung,” ujar Putro Negoro Rekthoseto, SH, M.Kn pada Napzaindonesia, Senin (26/3).
Tiga tersangka dalam kasus kepemilikan ganja ini, DZ, DN dan YH telah
mencabut surat kuasa dari pengacara yang disediakan oleh pihak
kepolisian dan mengalihkan pendampingan kasus penyiksaan ini kepada
Putro pada 19 Maret lalu.
Menurut keterangan salah satu tersangka kepada petugas paralegal dari
PERFORMA di tahanan Polres Semarang, mereka mengaku tidak menerima
surat penangkapan dan penggeledahan saat terjadinya penangkapan.
Mereka juga menuturkan bahwa selama proses penyidikan, keempatnya
mendapat penyiksaan dari polisi berupa pemukulan, kaki dijepit dengan
meja dan juga tawaran menyuap untuk memperingan proses hukumnya.
Menanggapi hal ini, Putro menyatakan pihaknya siap mendampingi selama kelanjutan proses penyidikan.
“Saat ini keempatnya sudah memasuki tahap 20 hari pertama proses
penyidikan. Meskipun mereka ditangkap atas kepemilikan ganja, namun
tidak seharusnya polisi melakukan penangkapan dan penyidikan yang tidak
sesuai dengan prosedur,” imbuh Putro. (IH)
Sumber : http://www.napzaindonesia.com/lbh-perjuangan-tangani-kasus-kekerasan-penangkapan-pengguna-napza.html
Rabu, 21 Maret 2012
[Fakta] Kondom Tidak Bisa Melindungi Penularan HIV-AIDS
Sekelompok massa yang menamakan Madani Mental Healt Care mengadakan aksi simpatik pada peringatan hari AIDS sedunia pada 1 Desember 2010. Mereka mengkapanyekan progam memerangi HIV/AIDS
dengan keimanan. “Kita kampanyekan memerangi HIV/AIDS dengan keimanan,
karena program kondom ternyata tidak mencegah virus HIV, kondom hanya
mencegah sperma,” kata juru bicara aksi, Ustad Ginanjar Maulana ketika
ditemui di Bundaran Hotel Indonesia. Banyak kalangan berpikir akan aman dari penularan HIV-AIDS dengan menggunakan kondom.
Kondom Pisang |
Ustad Ginanjar mengatakan tujuan dari
kampanye ini adalah menyadarkan masyarakat tentang bahaya seks bebas dan
penggunaan jarum suntik secara bergantian. Dirinya menambahkan program
pembagian kondom yang dilakukan pemerintah adalah keliru karena alat itu
tidak mencegah penyebaran virus HIV. “Dari penelitian kondom dapat
mencegah bakteri 1/160 mm2 sedangkan virus HIV 1/250 mm2 sehingga tetap
nembus,” ujarnya.
Pemerintah, kata ustad Ginanjar, malah
mendirikan ATM Kondom yang dapat dibeli masyarakat dengan harga cukup
terjangkau. “Hal itu malah merangsang masyarakat untuk membeli kondom
dan melakukan seks bebas, bayangkan harga kondom Rp 500 untuk tiga buah
dengan tiga rasa, pasti mereka tertarik,kan,” tegasnya.
Tingkat infeksi HIV di antara perempuan kulit hitam
Tingkat infeksi HIV di antara perempuan kulit hitam di beberapa bagian Amerika Serikat mirip dengan kejadian dilihat di sub-Sahara Afrika, peneliti melaporkan Kamis.
Studi ini menemukan tingkat infeksi HIV dari 0,24% pada sekelompok hampir 2.100 wanita, kebanyakan dari mereka adalah hitam. Tingkat yang lima kali lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang dikeluarkan oleh pemerintah federal.
Tingkat infeksi yang tinggi ditemukan di enam wilayah geografis yang diketahui menjadi hit keras oleh epidemi HIV dan di mana kemiskinan adalah lebih umum. Keenam daerah yang diteliti adalah di Atlanta, Washington, DC, Baltimore, Newark, NJ, Harlem (New York City) dan Wake County, NC
Data yang datang dari studi ISIS penting (Perempuan HIV Study Seroincidence), yang dilakukan setelah penelitian sebelumnya menunjukkan akun hitam perempuan untuk 66% kasus HIV baru di negara itu belum membuat hanya 14% dari populasi.
Perempuan kulit hitam memiliki 20 kali tingkat infeksi HIV di kalangan perempuan kulit putih dan empat kali tingkat antara Latinas. HIV dan AIDS adalah penyebab utama kematian di kalangan perempuan AS hitam. Beberapa wanita tidak tahu mereka terinfeksi. Dalam studi tersebut, 1,5% wanita menemukan mereka memiliki HIV hanya ketika mereka terdaftar dalam studi.
"Kita sudah tahu bahwa perempuan kulit hitam di AS secara tidak proporsional dipengaruhi oleh HIV, bagaimanapun, besarnya perbedaan ini di daerah paling terpukul oleh epidemi HIV menggarisbawahi gravitasi dari masalah," penulis utama studi tersebut, Dr Sally Hodder , dari Universitas Kedokteran dan Kedokteran Gigi New Jersey-Medis New Jersey School, mengatakan dalam rilis berita.
Studi ini menemukan tingkat infeksi HIV dari 0,24% pada sekelompok hampir 2.100 wanita, kebanyakan dari mereka adalah hitam. Tingkat yang lima kali lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang dikeluarkan oleh pemerintah federal.
Tingkat infeksi yang tinggi ditemukan di enam wilayah geografis yang diketahui menjadi hit keras oleh epidemi HIV dan di mana kemiskinan adalah lebih umum. Keenam daerah yang diteliti adalah di Atlanta, Washington, DC, Baltimore, Newark, NJ, Harlem (New York City) dan Wake County, NC
Data yang datang dari studi ISIS penting (Perempuan HIV Study Seroincidence), yang dilakukan setelah penelitian sebelumnya menunjukkan akun hitam perempuan untuk 66% kasus HIV baru di negara itu belum membuat hanya 14% dari populasi.
Perempuan kulit hitam memiliki 20 kali tingkat infeksi HIV di kalangan perempuan kulit putih dan empat kali tingkat antara Latinas. HIV dan AIDS adalah penyebab utama kematian di kalangan perempuan AS hitam. Beberapa wanita tidak tahu mereka terinfeksi. Dalam studi tersebut, 1,5% wanita menemukan mereka memiliki HIV hanya ketika mereka terdaftar dalam studi.
"Kita sudah tahu bahwa perempuan kulit hitam di AS secara tidak proporsional dipengaruhi oleh HIV, bagaimanapun, besarnya perbedaan ini di daerah paling terpukul oleh epidemi HIV menggarisbawahi gravitasi dari masalah," penulis utama studi tersebut, Dr Sally Hodder , dari Universitas Kedokteran dan Kedokteran Gigi New Jersey-Medis New Jersey School, mengatakan dalam rilis berita.
Rabu, 14 Maret 2012
Regulasi Ganja Perlu Diterapkan untuk Kurangi Kekerasan pada Perang NAPZA
Wina
Wenna Internatonal Centre |
Pertemuan ke-55 Komisi Narkotika PBB yang
dibuka pada Senin (12/3) untuk membicarakan penguatan program-program
NAPZA PBB. Perwakilan dari lebih 100 negara dunia hadir untuk
membicarakan kerjasama internasional untuk memerangi NAPZA, dan
pelaksanaan model kebijakan pelarangan NAPZA.
“Tidak ada perubahan pada Konvensi-konvensi PBB tentang NAPZA, serta
tidak ada harapan munculnya diskusi konstruktif tentang kebijakan NAPZA
alternatif pada pertemuan ini,” ungkap Ruth Dreifuss, mantan Presiden
Swiss sekaligus anggota Global Commission on Drug Policy (GCDP), Komisi Global Kebijakan NAPZA, , sebuah kelompok pemimpin internasional yang aktif menyerukan penghentian kebijakan Perang Terhadap NAPZA.
Dreifuss menghadiri pertemuan Komisi Narkotika PBB bersama dengan Profesor Michel Kazatchkine, mantan Direktur Eksekutif The Global Fund
yang juga anggota Komisi Global Kebijakan NAPZA. Dreifuss dan
Kazatchkine memberikan paparan tentang kebijakan berbasis pendekatan
kesehatan, yang termasuk dekriminalisasi pengguna NAPZA, kebijakan
pencegahan, serta percobaan penerapan regulasi pada NAPZA berefek ringan
seperti ganja demi mengurangi kekerasan dan kerugian yang ditimbulkan
oleh kebijakan Perang Terhadap NAPZA.”Kami percaya, PBB seharusnya
menggunakan bukti-bukti ilmiah dan menjaga konsistensi dalam menangani
masalah NAPZA, mendengarkan badan-badan kompeten seperti WHO, UNAIDS,
yang telah menyerukan pentingnya pendekatan pengurangan dampak buruk
NAPZA (harm reduction) dan pendekatan kesehatan masyarakat sebagai acuan
utama kebijakan NAPZA,” tegas Dreifuss.
Sementara PBB masih berfokus pada pemberlakuan pelarangan NAPZA dan
tetap menutup mata pada bukti-bukti ilmiah, debat tingkat tinggi
mengenai dekriminalisasi dan regulasi NAPZA telah berlangsung. Debat dan
diskusi yang membahas wacana regulasi NAPZA didorong oleh peluncuran
laporan Komisi Global Kebijakan NAPZA pada Juli 2010 tentang kegagalan
kebijakan Perang Terhadap NAPZA.
“Ada kesenjangan nyata antara meluasnya debat publik tentang
kebijakan NAPZA alternatif, dan kegagalan berkelanjutan Komisi Narkotika
PBB untuk terlibat dalam rangkaian debat tersebut. Bahkan tampaknya
Komisi Narkotika PBB tidak mengetahui adanya rangkaian debat tersebut,”
ungkap Steve Rolles dari Transform Drug Policy, sebuah organisasi nirlaba Inggris yang bergerak di bidang penelitian kebijakan NAPZA. (cndbl/YS)
Langganan:
Postingan (Atom)